Selasa, 22 Februari 2011
Sejarah Pondok Pesantren Al - Ihya 'Ulumaddin ( Kesugihan Cilacap )
Pondok pesantren Al Ihya Ulumaddin berlokasi di areal tanah seluas 4 Ha Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Tepatnya tanggal 24 November 1925/1344 H, seorang tokoh ulama KH. Badawi Hanafi mendirikan pondok pesantren di Desa Kesugihan. Pada saat itu Desa Kesugihan masih terisolir dan disekitar pondok terdapat tempat untuk adu ayam, percudian, dan bakar kemenyan di pemakaman warga (petilasan). Kehadiran Pondok Pesantren ini dilandasi dengan semangat keagamaan berdakwah yang bertujuan untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya pada zaman penjajahan Belanda pada saat itu. Beliau memanfaatkan Mushola peinggalan KH. Fadil untuk mengawali perintisan pesantren, Mushola atau langgar tersebut dikenal dengan nama “langgar dhuwur”. Pada awalnya pondok pesantren ini dikenal dengan nama pondok pesantren Kesugihan pada tahun 1961, Pondok Pesantren ini berubah nama menjadi Pendidikan dan Pengajaran Agama Islam (PPAI) dan pada tahun 1983kembali berubah nama menjadi Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin. Perubahan nama dilakukan oleh KH. Mustolih Badawi, Putra Kh. Badawi Hanafi. Perubahan tersebut dilakukan untuk mengenang almarhum ayahnya yang sangat mengagumi karya monumental Imam Al-Ghozali (Kitab Ihya ‘Ulumaddin) tentang pembaharuan Islam. Pondok Pesantren Al Ihya ‘Ulumaddin Kesugihan, secara ekonomi berada pada masyarakat plural (beragam) yang vterdiri dari nelayan, pedagang, petani wiraswasta dan Pegawai Negeri. Dari segi geografis lokasi pesantren dekat dengan pusat kota Cilacap. Kondisi ini sedikit banyak mempengaruhi proses perkembangan pesantren dalam upaya menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur tradisi keagamaan. Keseimbangan tersebut dapat tercipata karena masih adanya pengaruh karismatik para Kyai di wilayah Kesugihan, yang kemudian identik dengan Kota Santri. Letak geografis semacam itu, memberikan inspirasi Pondok Pesantren Al Ihya ‘Ulmaddin dalam ikut memberdayakan masyarakat sekitar, cenderung menggunakan pendekatan agraris dan kelautan. Hal ini dimaksudkan agar kehadiran Pesantren lebih nyata dalam memainkan peran sebagai agen perubahan (agent of change).
Langganan:
Postingan (Atom)